II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dendeng sapi
Dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari
irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah
diberi bumbu dan dikeringkan ( SNI 01-2908-1992).
Prinsip dari pembuatan dendeng adalah kombinas antara curing (penambahan bumbu denden pada daging) dengan pengeringan.
Dendeng merupakan salah satu produk awetan daging yang dikelompokan
sebagai daging “ Curing “. Curing didefinisikan sebagai suatu proses yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroorganisme melalui penggunaan garam dapur dan
pengendalian aktivitas air ( AW ) di ikuti dengan penggunaan garam
nitrat ( Sendawa ) untuk mempertahankan warna daging dan pengasapan untuk
mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme selanjutnya dan mencapai citarasa
daging yang diinginkan.
Dendeng adalah produk tradisional dari Indonesia dan berbagai Negara di
Asia Tenggara yang dapat dibuat dari daging sapi, daging babi, daging ayam,
daging kambing maupun daging kelinci. Tetapi yang paling umum dijumpai adlah
daging sapi.
Pembuatan dendeng di Indonesia
umumnya menggunakan bumbu-bumbu, gula dan garam ditambahkan untuk menambah
citarasa.
Dalam pembuatan dendeng perlu adanya pemisahan bagian urat dan lemak,
sehingga didapat kualitas yang baik,
sebelumnya perlu pemilihan daging yang berkualitas baik untuk pembuatan dendeng. Perlu
diperhatikan juga mengenai penyinaran oleh matahari diwaktu penjemuran Karena
cukup penting dalam pembuatan dendeng. Jadi sebelum pelaksanaan harus
diperhatikan hal-hal yang menunjang pembuata dendeng agar tidak terdapat
halangan atau mendatangkan kerugian dalam
memperoleh hasil akhir dari dendeng.
Pembuatan dendeng dimulai dengan pengirisan atau pemotongan daging secara
melintang dengan ketebalan kira-kira 2-3 mm. Potonga-potongan tersebut dicampur
dengan bahan curing yang terdiri dari 10 %
garam dapur, 3 % gula putih, satu persen
sendawa dan permil nitrit dari berat daging. Campuran ini diaduk dengan
baik agar agar bumbu dapat diserap betul oleh daging. Tutup campuran dengan bahan kedap udara, misalnya plastic,
kemudian diperam dan disimpan, selama 24
jam atau lebih. Setelah penyimpanan dilakukan pencucian sehingga bahan curing
terbuang habis, dan selanjutnya dicampur dengan bumbu dendeng yang disesuai kan dengan selera
masing-masing. Bila bumbu sudah tercampur rata pada daging maka untuk
selanjutnya dilakukan penjemuran samp[ai betul-betul kering.
2.2. Sosis
Sosis daging adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging
halus (mengandung daging tidak kurang 75 %) dengan tepung atau pati dengan atau
tanpa penambahan bumbu dan bahan
tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukan kedalam lubang selongsong. (
SNI 01-3820-1995).
Sosis adalah salah satu produk olahan daging giling yang mempunyai bentuk
bulat memanjang seperti tongkat, berselongsong dan testurnya kenyal. Secara
umum sosis dapat diklasifikasikan menjadi 6 jenis yaitu : (1) sosis segar, (2)
sosis asap ( tidak direbus ), sosis rebus dan diasap, (4) sosis rebus, ( 5)
sosis kering atau sosis fermentasi dan (6) meat specialties yang direbus.
Tahap penting dalam pembuatan sosis adalah penggilingan dan pembentukan
emulsi. Penggilingan daging bertujaun untuk memperoleh ukuran partikel yang
kecil sehingga memudahkan proses emulsifikasi dan diperoleh produk yang
homogen. Emulsi sosis berupa emulsi lemak dalam air (o/w). globula lemak
terdispersi didalam air yang berperan sebagai pendispersi. Protein daging yang
terlarut, khususnya protein myofibril ( aktin dan myosin ) yang larut dalam
larutan garam berperan dlam menstabilkan emulsi ( emulsifier ). Dalam emulsi
daging, setiap globula lemak diselimuti oleh protein daging terlarut. Protein
membentuk suatu matriks yang menyelubungi butiran-butiran lemak. Dengan demikian
globula lemak tidak mudah terpisah dari system ( globula lemak tetap
terdispersi ). Oleh karena itu dalam penggilingan daging sebaiknya ditambahkan
garam , agar proses ektraksi protein mifibril lebih baik.
Metode emulsifikasi dalam pengolahan daging menitik-beratkan
kestabilan campuran dua substansi kimia (biasanya antara lemak dan air) yang
dalam kondisi alamiahnya tidak dapat bergabung, melalui substansi pencampur
(disebut emulsifier atau agen
pengemulsi). Ketika fungsi emulsifier diperankan oleh protein, maka sifat
protein yang larut dalam air akan menempatkan substansi air sebagai fase
pendispersi, sehingga substansi lemak
pada gilirannya akan berperan sebagai fase
dispersi (Soeparno, 1998).
Lemak dalam daging, ataupun dalam
bentuk independen, telah diketahui tidak dapat bergabung dengan air; sifat
interaksi yang negatif ini dijelaskan lewat sifat kimia struktur polar, dimana
struktur hidrokarbon dalam senyawa lipida (lemak) terbagi menjadi dua stereotipe; yakni kutub tipe hidrokarbon
yang hidrofobik (tidak bersimpati
dengan suasana air, atau non-polar) dengan letak yang mengarah pada sisi luar
struktur lemak, dan kutub hidrokarbon lain yang hidrofilik (bersimpati terhadap suasana air) dengan letak yang
mengarah pada bagian dalam struktur lemak (Page, 1997‘by: JNL’).
Kondisi polar-non polar seperti ini juga terdapat dalam senyawa protein.
Lebih jauh lagi sifat polar ini ditentukan oleh besaran
partial suatu molekul yang memuat ion positif dan yang memuat ion negatif
(Keenan, dkk; 1989). Muatan positif dua unsur Hidrogen (H+) sangat
sesuai untuk menyeimbangkan pergerakan satu unsur Oksigen (O‑),
sehingga dengan begitu seimbangnya ikatan ion positif-negatif (ikatan kovalen)
yang dimiliki Air (H2O) menyebabkan dua kutub (polar) dalam molekul
air tidak dapat saling mendominasi seperti yang terjadi pada molekul lemak
maupun protein. Sifat mengalir yang dimiliki air pada akhirnya diketahui
disebabkan oleh keseimbangan polar molekulnya ini. Keseimbangan ikatan kovalen
air juga membuat interaksi antar molekul-nya menjadi sangat erat, sehingga
hanya energi paling agresif tertentu saja yang dapat memutuskan ikatan
antar-molekular tersebut, semisal; energi listrik (Winarno, 1982).
Berbeda dengan lemak, keadaan ikatan kovalen (polaritas)
molekul protein yang mirip dengan molekul lemak dapat terakumulasi oleh berat
molekul protein yang sangat besar (sehubungan polimerisasi yang disertai
kehadiran unsur N, atau Fe, S ataupun P) membuat protein cenderung larut hingga
mengendap (koloidal) dalam air (Tillman, dkk; 1998). Sedangkan lemak memiliki
tingkat kerapatan massa
(globuler) yang lebih rendah daripada air sehingga sangat ‘memisahkan’ diri
dari air dicirikan dengan sifat mengapungnya lemak diatas permukaan air, dalam
kondisi alami.
Sehingga lewat uraian diatas dapat dipahami bahwa
emulsifikasi Air-Lemak-Protein terjadi dengan uraian sebagai berikut;
Ø
Protein yang larut dalam sejumlah kecil air,
menyebabkan sifat mengalir air menjadi menurun,
Ø
kombinasi unsur yang terdapat dalam larutan
protein-air memiliki berat molekul yang jauh lebih besar dibandingkan senyawa
lemak,
Ø
peningkatan berat molekul dan penurunan daya
alir (fluiditas) air dalam larutan air-protein membuat senyawa lemak
terselubungi oleh larutan tersebut,
Ø
lewat perlakuan fisik, misalnya pengadukan atau
pengocokan yang disertai tekanan, baik senyawa lemak maupun penyelubung-nya,
hasil kombinasi air-protein, terbagi-bagi secara struktural menjadi
globula-globula kecil yang masih tetap rapat satu sama lainnya mengingat masih
adanya sekian kecil daya alir air dalam campuran air-protein yang menjadi
lapisan terluar setiap globula tersebut.
Ø
secara makroskopis air, lemak dan protein
menjadi tercampur sempurna dalam suatu substansi semi-padat yang lazim disebut:
emulsi.
Stabilitas emulsi daging dipengaruhi oleh beberapa factor antara lain
ukuran globula lemak, suhu dan jumlah protein larut garam. Ukuran globula lemak
yang besar cenderung menyebabkan emulsi tidk stabil karena lemak mudah bergerak
ke permukaan. Semakin kecil ukuran glabula lemak, emulsi semakin stabil, tetapi
semakin banyak diperlukan protein terlarut untuk menyelimuti setiap globula
lemak.
Pada suhu tinggi, umumnya protein terdenaturasi sehingga emulsi daging
yang diperoleh cenderung stabil. Disamping itu suh sngat mempengaruhi
viskositas emulsi. Pada suhu tinggi viskositas emulsi cenderung rendah sehingga
lemak mudah bergerak terpisah dari system. Oleh karena itu didalam pembuatn
produk emulsi daging diusahakan suhu tetap rendah sehingga emulsi tetap stabil.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menambahkan es selama proses penggilingan
dan emulsifikasi. Selama pembentukan emulsi suhu sebaiknya tidak lebih dari 12
derajat celcius. Untuk memperoleh stabilitas emulsi yang baik, suhu harus
dipertahankan sekitar 3 derajat celcius.
Dalam pembuatan sosis ditambahkan bumbu-bumbu dan tambahan lain seperti
emulsifier, extender, filler, dan binder ( seperti skim, tepung maizena).
Penggunaan non daging tidak boleh melebihi dari 3,5 persen. Casing (selongsong)
yang digunakan dalampembuatan sosis berfungsi sebagai wadah / cetakan emulsi
daging.yang menentukan bentuk dan ukuran produk.
Casing dpat dibedakan menjadi dua, yaitu casing alami yang tebuat dari
usus ternak dan cascing sintetik.
2.3. Corned Beef
Corned beef adalah produk yang terbuat dari potongan daging sapi segar
atau beku (yang telah memenuhi persyaratan dan peraturan yang berlaku ), tanpa
tulang, boleh dicampur dengan daging bagian kepala dan hati dengan atau tanpa
penambahan bahan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, dibuat melalui
proses curing, dikemas dalamkaleng kerap udara (hermatik) dan disterilkan ( SNI
01-3775-1995 ).
Corneed beef berwarna merah yang khas dan kompak. Daging yang dibuat
kornet biasanya daging curing yang mempunyai kualiats agak rendah. Tahap-tahap
pembuatan kornet adalah (1) curing daging, (2) Cutting (pemotongan) daging, (3)
lanching, (4) Filling, (5) Pre cooking, (6) exchausting, (7) Sealing, (8)
processing, dan (9) Cooling. Perbedaannya hanya pada resep yang digunakan yaitu
macam bumbu dan jumlahnya.
Untuk memperoleh produk yang berwarna merah, sebaiknya
digunakan formula curing yang menggunakan garam rendah dan selama proses
dihindari semaksimal mungkin daging kontak dengan oksigen dan cahaya secara
langsung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar